Indonesia merupakan negara yang terdiri dari 34 provinsi. Setiap provinsi memiliki budaya yang berbeda, termasuk dalam hal arsitektur rumah. Kali ini, kamu akan mendapatkan informasi lengkap tentang rumah adat Gorontalo yang disertai dengan gambar.
Membahas sekilas tentang Provinsi Gorontalo, wilayah ini terletak sebelah utara Pulau Sulawesi. Tepatnya berada di antara Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah. Apakah kamu pernah berkunjung ke wilayah ini?
Jenis Rumah Adat Gorontalo dan Perbedaannya
Provinsi yang luasnya sekitar 12,4 ribu kilometer persegi ini memiliki dua jenis rumah adat.
Jenis yang pertama bernama Dulohupa, sedangkan jenis yang kedua adalah Bantayo Poboide. Dilihat dari karakteristiknya, kedua jenis rumah ini sangat berbeda.
1. Rumah Adat Dulohupa
Jenis rumah yang pertama adalah Dulohupa. Masyarakat setempat menyebutnya sebagai Yiladia Dulohupa Lo Ulipu Hulondhalo.
Ciri khas rumah Dulohupa adalah terbuat dari papan kayu dan berbentuk panggung. Jadi, lantai rumah ini tidak menempel langsung di tanah.
Untuk menyangga bangunan, terdapat pilar kayu di setiap sudut bangunan yang berfungsi sebagai hiasan.
Dahulu, rumah Dulohupa sengaja dibuat sebagai titik kumpul masyarakat adat Gorontalo untuk bermusyawarah.
Oleh sebab itu, rumah adat yang satu ini tidak memiliki satupun ruangan. Rumah ini hanya memiliki ruang utama dan tak ada sekat untuk memisahkan ruangan satu dengan lainnya.
Ruangan di dalam rumah adat Dulohupa disebut sebagai Doludehu.
Doludehu sendiri merupakan bahasa Gorontalo yang memiliki makna ‘ayo saling menjatuhkan’. Jika ditelusuri lebih dalam, frasa tersebut mengarah kepada perundingan untuk mencapai sebuah kata mufakat.
Di salah satu sudut rumah terdapat singgasana untuk pemimpin Gorontalo atau tetua masyarakat setempat, lho. Di aula besar itu juga sang pemimpin menerima tamu, baik dari masyarakat sekitar maupun pendatang dari luar wilayahnya.
Selain dipakai untuk bermusyawarah dengan pemimpin, rumah adat Dulohupa juga dipakai untuk tempat penyimpanan peralatan upacara, contohnya peralatan upacara perkawinan, alat-alat pesta, dan lain sebagainya.
Terdapat satu keunikan di tangga rumah Dulohupa, yakni terdapat dua buah anak tangga di sisi kiri dan kanan.
Apabila masyarakat masuk dari tangga sebelah kiri, kemudian berunding dengan raja dan mencapai kesepakatan, maka mereka akan keluar rumah dari tangga yang lain di sisi kanan.
Namun saat perundingan tak membuahkan hasil, masyarakat akan keluar melewati tangga di sisi kiri lagi.
Karakteristik Rumah Adat Dulohupa
Rumah adat Gorontalo Dulohupa memiliki karakteristik yang cukup unik, mulai dari bagian atap hingga ke tiang-tiang penyangganya. Mari bedah lebih dalam tentang karakteristik serta arsitektur rumah adat yang satu ini.
- Atap
Masyarakat adat Gorontalo menganggap atap adalah interpretasi dari kepala manusia. Bentuk atap rumah Dulohupa sangat mirip dengan pelana kuda.
Kamu tentu pernah melihatnya, bukan? Atap tersebut terdiri atas susunan dua lapis. Bentuk atap ini melambangkan syariat yang menjadi dasar hidup masyarakat di sana.
Atap bagian atas melambangkan agama yang menjadi tameng pelindung utama dalam seluruh kehidupan.
Masyarakat menganggap bahwa Tuhanlah yang menjadi penjaga mereka ketika di dunia, kemudian lapisan kedua menggambarkan aturan adat istiadat yang telah mendarah daging sejak nenek moyang.
Sebelum ajaran Islam masuk ke wilayah Gorontalo, masyarakat memasang sebuah kayu yang bersilang pada atap rumah mereka.
Kayu tersebut biasa disebut sebagai Talapia. Fungsinya adalah melindungi penghuni rumah dari ancaman roh jahat. Namun, hal tersebut tidak sejalan dengan ajaran Islam, sehingga tak lagi digunakan saat ini.
- Ruang
Di muka rumah atau dinding bagian depan terdapat sebuah benda yang bernama Tange lobu’ulu. Benda tersebut melambangkan kesejahteraan masyarakat Gorontalo.
Umumnya, Tange lobu’ulu ini digantungkan di sisi pintu masuk utama ke rumah. Bagaimana, sudah ada bayangan tentang ruang ini?
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, rumah Dulohupa merupakan rumah tanpa sekat. Sehingga bagian dalam rumah ini berbentuk seperti aula atau ruangan terbuka yang dapat menampung banyak orang dalam satu waktu.
Di bagian belakang rumah Dulohupa terdapat sebuah bangunan kecil yang disebut sebagai anjungan.
Tempat tersebut dipakai oleh pemimpin serta keluarganya untuk beristirahat atau sekadar bersantai melepas penat.
Di dekat anjungan tersebut juga terdapat tanah lapang yang dapat dipakai oleh para remaja untuk berolahraga.
- Pilar
Rumah Dulohupa memiliki banyak pilar yang menyangga seluruh rumah panggung satu ini. Adapun pilar ini melambangkan seluruh lapisan masyarakat di Gorontalo yang menjadi dasar berjalannya sistem pemerintahan.
Pilar yang ada di rumah ini terdiri dari 3 jenis, yaitu pilar utama, pilar depan, dan pilar dasar. Berikut ini penjelasan selengkapnya supaya kamu tahu perbedaannya:
1. Pilar Utama atau Wolihi
Pilar yang satu ini memanjang dari dasar tanah hingga ke atas dan menyangga atap rumah. Wolihi menjadi lambang janji persatuan dan kesatuan di antara masyarakat Limboto dan Gorontalo sejak 1664.
Janji persatuan tersebut juga dikenal dengan istilah janji Lou Duluwo Mohutato-Hulontalo-Limutu. Pilar yang berjumlah 2 buah melambangkan adat dan juga syariah, seperti filosofi atap dua lapis yang sudah disebutkan di atas.
2. Pilar Depan
Seperti namanya, pilar yang satu ini berada di bagian depan atau muka rumah. Pilar atau tiang depan ini menjulang dari dasar tanah hingga ke atas dan menyangga rangka atap, sama seperti Wolihi.
Pilar depan pada rumah Dulohupa menggambarkan 6 sifat utama masyarakat Gorontalo, yaitu:
- Mematuhi segala keputusan yang dijatuhkan oleh hakim
- Mematuhi seluruh peraturan yang ada
- Bersikap wajar dalam bermasyarakat
- Menghormati pemimpin
- Hormat
- Tenggang rasa
3. Pilar Dasar atau Potu
Dahulu, pilar dasar ini dipakai untuk menunjukkan jumlah budak yang dimiliki oleh seorang raja atau bangsawan yang mendiami rumah tersebut.
Namun, hal ini sudah tidak digunakan lagi di masa sekarang, sehingga saat ini pilar dasar tidak melambangkan hal khusus apapun. Rumah orang biasa pun tetap menggunakan Potu ini.
- Anak tangga
Jumlah anak tangga di rumah Dulohupa tidak ditentukan dengan sembarangan. Anak tangganya harus berjumlah 5 atau 7 dan masing-masing punya makna tersendiri.
Apabila anak tangga tersebut jumlahnya 7 buah, hal ini melambangkan 7 level nafsu yang dimiliki umat manusia.
Urutannya adalah amarah, lawwamah, mulhamah, muthmainnah, rathiah, madhiah, dan kamilan.
Sedangkan 5 buah anak tangga menggambarkan 5 buah filosofi hidup rakyat Gorontalo atau 5 rukun di dalam Rukun Islam.
2. Rumah Adat Bantayo Poboide
Nama rumah adat Gorontalo yang kedua adalah Bantayo Poboide. Berbeda dengan Dulohupa yang dipakai untuk berkumpul dan bermusyawarah, Bantayo Poboide digunakan sebagai tempat penyambutan tamu serta melakukan upacara adat.
Kegunaan tersebut sesuai dengan nama yang diberikan oleh nenek moyang masyarakat Gorontalo untuk rumah ini. Bantayo memiliki arti balai atau bangsal, sedangkan Poboide memiliki arti berbicara.
Maknanya, rumah ini digunakan sebagai balai untuk berkumpul dan juga berbicara atau mengobrol.
Namun, beberapa ahli juga berpendapat bahwa Bantayo Poboide merupakan tempat yang digunakan oleh pemerintah untuk membahas masalah internal di wilayah pemerintahan Gorontalo di masa lalu.
Wah, rumah khas Gorontalo satu ini menyimpan sejarah yang hebat, ya.
Material yang digunakan untuk membangun sebuah rumah adat Bantayo Poboide adalah kayu hitam serta kayu coklat.
Kayu hitam biasanya dipakai untuk membuat bagian tertentu seperti pegangan tangga, hiasan pada ventilasi, pagar, serta kusen. Sedangkan bagian lainnya menggunakan kayu coklat.
Rumah Bantayo Poboide memiliki jumlah tiang yang lebih sedikit dibandingkan dengan Dulohupa. Di bagian luar rumah hanya memiliki 2 buah tiang.
Sedangkan di bagian lain terdapat 6 buah tiang. Jadi, rumah ini memiliki 8 buah tiang yang tugasnya menopang seluruh bagian rumah yang berbentuk panggung ini.
Tiang ini pun memiliki filosofi tersendiri. 6 tiang yang terletak di bagian dalam rumah melambangkan kerajaan Gorontalo, sedangkan 2 buah tiang lain yang ada di luar diumpamakan sebagai kerajaan Limutu.
Keduanya telah bersepakat untuk bersatu dan berdamai.
Karakteristik Rumah Adat Bantayo Poboide
Meskipun sama-sama berasal dari Gorontalo, rumah Bantayo Poboide ini memiliki karakteristik yang jauh berbeda dengan Dulohupa yang sudah dibahas sebelumnya.
- Berbentuk Panggung
Rumah adat Bantayo Poboide memiliki bentuk panggung. Karena lantai tak langsung menapak pada tanah, rumah ini memiliki ruang kosong di bagian bawahnya yang disebut sebagai kolong.
Dahulu kolong rumah ini dijadikan sebagai tempat untuk menenun kain secara tradisional. Lantai bawah ini tidak memiliki dinding, sehingga orang bebas keluar masuk ke bagian tersebut.
Tujuan pembuatan rumah panggung adalah untuk menghindari banjir yang kerap melanda wilayah Gorontalo saat itu.
Faktor kedua yang menjadi alasan pembuatan rumah panggung adalah sirkulasi udara yang lebih baik, sehingga rumah selalu terasa sejuk, baik di dalam rumah utama maupun di bagian kolongnya.
- Ruang Bersekat
Rumah Bantayo Poboide ini memiliki sekat, namun tak ada banyak ruangan di dalamnya.
Rumah adat ini hanya memiliki dua ruangan yang memiliki ukuran yang sama luasnya dan dipisahkan oleh sebuah lorong untuk masuk dari pintu utama.
Karena bersekat, rumah ini tidak begitu terang, terutama di bagian lorong yang paling minim mendapatkan pencahayaan.
- Teras atau Serambi
Rumah adat suku Gorontalo yang satu ini memiliki teras atau serambi di sekeliling bangunan utama, baik di bagian depan, samping, maupun belakang.
Dengan adanya serambi, bangunan rumah utama akan terlindung dari terpaan sinar matahari langsung serta air hujan yang tempias. Hal ini tentu lebih nyaman bagi penghuni rumah.
Keberadaan serambi di sekeliling rumah juga berkontribusi besar bagi kesejukan udara di dalam ruangan. Karena dinding rumah tidak langsung terpapar cahaya matahari, otomatis suhu di dalam akan lebih rendah.
- Pintu, Jendela, dan Ventilasi
Rumah adat wilayah Gorontalo telah menerapkan pola ventilasi serta bukaan, seperti pada bangunan Belanda.
Padahal rumah ini sudah dibangun jauh sebelum Belanda datang ke negeri ini.
Jendela dan pintu rumah Bantayo Poboide dibuat menggunakan papan kayu yang disusun tidak begitu rapat, sehingga memiliki celah. Dari celah inilah udara dapat keluar dan masuk dengan leluasa.
Jendela tak hanya memiliki fungsi untuk menjadi tempat pertukaran udara di dalam ruangan.
Udara dari loteng atau atap juga keluar dan masuk melalui jendela ini. Hal tersebut dapat mencegah ruangan terasa panas akibat udara di dalam loteng tidak mengalami pergantian.
- Dinding dan Lantai Kayu
Kayu menjadi bahan baku utama yang dipakai untuk membangun sebuah rumah Bantayo Poboide.
Satu-satunya bagian di rumah ini yang tidak terbuat dari kayu adalah bagian atap. Selain itu, semuanya terdiri dari kayu termasuk dinding dan juga lantai.
Pertama, kayu akan diolah sedemikian rupa hingga bentuknya berubah menjadi seperti papan, kemudian papan-papan ini disusun hingga membentuk dinding bangunan.
Terkadang kayu yang digunakan untuk membuat rumah memiliki ukuran yang kurang seragam karena dibuat secara manual. Oleh sebab itu, tak jarang ditemukan celah pada dinding dan juga lantai rumah ini.
Namun, celah-celah tersebut tak menjadi persoalan serius. Justru celah inilah yang membiarkan udara segar masuk ke dalam rumah, sehingga membuat rumah terasa lebih sejuk.
Dahulu, rumah-rumah tidak menggunakan plafon. Namun seiring dengan majunya zaman, banyak rumah adat Gorontalo yang sudah menggunakan plafon atau eternit.
Beralih ke lantai, bagian ini umumnya jauh lebih rata dibandingkan dinding. Jika tidak dibuat rata, dikhawatirkan kaki penghuni rumah dapat tersandung ketika berjalan.
Namun, saat ini kebanyakan rumah Bantayo Poboide sudah menggunakan alas karpet demi menambah kenyamanan para penghuninya.
- Teritisan Lebar
Indonesia merupakan negara tropis yang saat kemarau begitu panas. Namun saat musim hujan, air tak henti-hentinya turun dari langit.
Menyikapi kondisi alam yang seperti ini, masyarakat Gorontalo membuat teritisan yang lebar untuk rumah adat satu ini. Fungsinya adalah untuk memberikan perlindungan dari hujan dan panas dengan lebih baik.
Teritisan merupakan bagian ujung atap rumah yang sudah melebihi ruang utama. Teritisan juga bisa diartikan sebagai ruang kosong di luar rumah dan serambi yang masih terlindungi oleh atap rumah.
Baca Juga :
5 Keunikan Rumah Adat Tambi dari Sulawesi Tengah
Rumah adat Gorontalo tak hanya berperan sebagai tempat berteduh dan berlindung. Ada banyak filosofi juga yang mendalam dan sangat melekat pada setiap rumah adat yang berdiri di sana.
Jika kamu berkunjung ke Gorontalo, jangan lupa agendakan untuk mengunjungi rumah adat yang kini sudah disulap menjadi destinasi wisata ini, ya.